Saturday, January 14, 2006

Kita ini bukan apa-apa

Pernahkah anda merasa bahwa anda sudah cukup hebat? Bahwa anda memiliki pengetahuan yang cukup banyak? Atau anda merasa sudah cukup mampu menghadapi segala problema hidup ini karena anda cukup pandai dan berpengalaman? Kalau anda menjawab pernah, maka saya akan mengajak anda yang beragama Islam untuk beristighfar. Mohon ampun kepada Allah. Karena perasaan sudah hebat itu, adalah tanda-tanda yang menjurus kepada ketakaburan... Padahal, ternyata kita ini tidaklah punya kuasa apa-apa. Dalam hidup ini, sehebat apapun kita, sebanyak apapun teori keilmuan yang kita telah kuasai, ternyata itu semua tidak sebanding dengan kuasa Allah.

Tolong anda jangan mengira saya mendadak jadi ustadzah. Tolong juga jangan mengira saya sedang berceramah atau berkhotbah. Tidak. Saya jelas-jelas bukan orang yang punya cukup ilmu agama seperti seorang ustadzah. Saya hanya ingin berbagi. Berbagi pengalaman hidup yang mungkin bagi anda tidak terlalu berharga, tapi bagi saya, sungguh merupakan sesuatu yang sangat berarti. Sangat menyentuh.

Semua masih ada kaitannya dengan bidadari kecil saya, Shafa.

Shafa yang kakinya patah 3 minggu yang lalu.

Selama 3 minggu ini, dia telah melalui hari-hari digipsnya dengan tabah. Sungguh, saya tidak menyangka bahwa dia mampu setabah itu. Saya bahkan lebih sering down melihat keadaannya, tapi dia justru mengajari saya untuk menerima dan menjalani kenyataan. Bukan kah the life must go on? Meski di tempat tidur, Shafa selalu mengajari saya untuk optimis menghadapi masa depan.

Sempat memang beberapa hari pertama psikisnya agak tegang. Dia takut kakinya tidak akan sembuh lagi, dia takut tidak bisa berenang dan sekolah lagi, dan dia sangat khawatir akan hal itu. Tapi ternyata dia mampu bangkit dari keterpurukannya. Apalagi ketika setiap kawan yang menjenguk selalu memberinya semangat.


"Shafa pasti cepat sembuh, ya bu... Shafa mau makan dan minum susu yang banyak, biar cepat sembuh, ya bu..." Saya justru jadi optimis melihat semangat di matanya. Dialah yang sudah menguatkan saya.

Satu hal lagi yang membesarkan hati saya adalah kata-kata dokter.

"Ini tidak apa-apa, bu... dia masih sangat kecil. Kesempatan tulangnya menyambung kembali jauh lebih besar. Tidak perlu di pen. Saya pasak dari luar, lalu saya gips. Patahannya akan menyambung sendiri dalam 3 sampai 6 bulan...." terngiang kata-kata sang dokter 3 minggu yang lalu.
Saya, seorang awam di bidang kedokteran tentu percaya sepenuhnya. Kenapa tidak? Bukankah dia seorang dokter spesialis? Bukankah dia sudah sekolah sangat lama untuk mempelajari itu semua?

Dua minggu yang lalu kami kontrol padanya. Kata-kata penuh optimisme telah membuat hati saya berbunga-bunga. ‘Seminggu lagi, kita rontgent, ya... setelah itu, gipsnya boleh dipotong dari paha sampai lutut. Tapi dari lutut sampai jempol, tetap masih harus digips. Shafa jadi mulai bisa menekuk kakinya, boleh pakai kursi roda,’ begitu katanya.

Shafa dan saya juga suami tentu senang sekali. Kami mulai menyusun banyak rencana. Saya membayangkan alangkah senangnya, Shafa berarti sudah bisa BAB dan BAK di kloset lagi, tidak seperti selama ini yang harus dilakukan di pispot di atas tempat tidur. Sementara Shafa sudah minta masuk sekolah dengan kursi rodanya. Setiap teman yang bertanya kabar Shafa, selalu saya jawab dengan riang gembira. Sebentar lagi dia bisa pakai kursi roda! Sebentar lagi Shafa bisa masuk sekolah! Bahkan bu gurunya pun telah saya datangi secara khusus untuk mengabarkan ini. Gembira. Bahagia.

Tapi semua harapan saya rasanya sirna dan jadi sia-sia.

Teori pak dokter yang telah memberi saya harapan indah, ternyata tidak terbukti sama sekali. Hari Jum’at 13 Januari 2006.

Ini jadwal Shafa merontgent kakinya. Kami berangkat dengan hati senang. Shafa tau, dia akan lebih bebas bergerak sebentar lagi. Dia akan bisa memulai beberapa aktivitasnya lagi, meskipun dengan bantuan kursi roda. Tapi cukup membahagiakan dibanding berbaring terus-terusan di kamar, bukan?

Sayang, semuanya jadi buyar.

Perawat yang merontgent Shafa yang mula-mula mengabarkan berita itu.

"Bu, kenapa ini?" ia menunjuk hasil rongentnya.

"Ini kok tulangnya tidak menyambung? Ini masih bergeser, bu... belum ada perubahan dari kondisi semula. Apa yang kemarin dilakukan dokternya?"

Sungguh saya bingung mendengar pertanyaan itu..

"Menurut dokter, Shafa di tarik untuk meluruskan posisi tulangnya yang bergeser, kemudian dipasak di 3 titik, lalu di gips, pak. Itu katanya. Apa ada yang salah?"


"Tidak, bu, tidak ada yang yang salah dari prosedur tersebut, tapi ternyata tulang Shafa masih salah posisi, kalaupun terjadi kalsifikasi yang akhirnya akan menyambung tulangnya secara alami, Shafa bisa cacat seumur hidup, kakinya bisa bengkok, dan pendek sebelah... Kasihan, bu... dia kan perempuan..." itu kata-kata sang perawat, juga 3 orang dokter lain yang kami datangi setelah itu.
Persis, mereka berkata sama.

Apaaaa?????????

Shafa akan cacat???? Shafaku? Bidadariku yang cantik dan lincah itu???

Tidaaaaaaaaaakkkkkkkk!!!! Dunia saya serasa runtuh. Gelap.

"Solusinya apa, dokter?"

"Operasi, bu... kali ini agak lama pembiusannya, karena sepertinya sudah tumbuh daging di sela-sela patahan tulangnya, jadi ini mesti dibersihkan dulu, lalu tulang Shafa akan dibor dan dipasangi 2 buah mur untuk menyatukan tulangnya. Selesai operasipun, Shafa tetap harus mengenakan gipsnya agar posisi tulangnya tidak bergeser. Setelah 6 bulan, atau maksimal 1 tahun lagi, Shafa dioperasi lagi untuk mengeluarkan mur tersebut, setelah tulangnya betul-betul menyatu."

Operasi???

Masuk ruang bedah lagiii???

Dibius lagiiii????


Masih segar rasanya ingatan saya tentang kamar bedah yang harus Shafa masuki 3 minggu lalu. Masih terasa pilunya hati saya saat melihat Shafa mendadak terkulai tak sadarkan diri ketika suntikan bius memasuki pembuluh darahnya.

Sekarang Shafa harus masuk ruang operasi lagi???

Bahkan dengan masa pembiusan yang lebih lama????

Bagaimana dengan asmanya? Bukankah dia tidak bisa dibius terlalu lama, karena dia juga mengidap asma???

Bagaimana ini???


Membayangkan itu saja rasanya saya tidak sanggup, lalu dokter orthopedinya melanjutkan,
"resiko terburuk operasi ini adalah... bla... bla... bla..."

Saya menangis tersedu-sedu di depan meja dokter itu... Saya benar-benar merasa tidak berdaya...

Tuhan... saya sangat kecil... saya ini tidak ada apa-apanya. Saya ini benar-benar tidak punya kemampuan apa-apa. Bahkan untuk melindungi buah hati sayapun saya tidak bisa...

Hilang rasanya seluruh sendi tubuh saya, ingin rasanya saya melesak ke perut bumi. Sungguh, alangkah tidak ada dayanya saya. Sungguh hanya Allah yang maha kuasa. Ya Allah.... ampuni saya...

Mungkin selama ini saya begitu PD dan takabur. Saya belum pernah merasa mendapat masalah yang tidak mampu saya selesaikan. Hidup saya memang tidak mulus dan mudah, tapi selama ini rasanya hampir setiap rintangan telah mampu saya lewati. Saya hampir memiliki semua yang saya impikan.

Mungkin saya jadi takabur karenanya.

Mungkin saya jadi lupa, bahwa semua itu bukan karena saya. Tapi karena izin Allah semata. Dan kini, saya tengah diingatkan. Bahwa saya ini bukan apa-apa. Bahwa saya ini sangat kecil dan tidak punya kuasa.

Ya Allah, ampunkan hamba... Hamba benar-benar sadar akan kuasaMu....

Jika Kau berkenan, tolonglah berikan segera kesembuhan bagi buah hati hamba...

Hamba tidak mampu ya Allah, hanya Engkau yang berkuasa memberikan itu semua...

Tolonglah hamba ya Tuhan...
Tolonglah hamba...


PS:


Dengan setulus hati, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas perhatian dan dukungan teman-teman semua... Sahabat-sahabat tercintaku di Boulevard, Kim, Lola, Mpi, Hasan, Ringgas, Misbah, Enda, Yandhrie, Zaki dkk, juga teman-teman yang mengunjungi site ini, Sita, May, Riga, Rini... Dukungan semangat dari kalian sungguh sangat berarti bagi kami...
Insya Allah, apabila tidak ada halangan Shafa akan dioperasi pada hari Rabu, tanggal 18 Desember 2006, mulai masuk ke RSPB hari selasa Siang, untuk pemeriksaan pra operasi.
Kami mohon doa dari teman-teman semua, agar operasi Shafa dapat berjalan lancar, dan Shafa dapat disembuhkan seperti sedia kala... Amin..