Wednesday, June 21, 2006

RUMPUT TETANGGA MEMANG SELALU TERLIHAT LEBIH HIJAU

Seminggu yang lalu, saya membaca sebuah berita memilukan di internet. Seorang ibu membunuh ketiga anaknya yang masih berusia 6 tahun, 4 tahun, dan 9 bulan. Miris, dan sangat memilukan. Yang membuat saya semakin tersentuh, ibu itu berusia sama dengan saya... 31 tahun, dan anak-anaknya pun seusia dengan anak-anak saya. Satu lagi... sang ibu adalah lulusan ITB, yang juga almamater saya. Lengkap sudah keterkejutan saya.

Tapi tulisan ini, sama sekali bukan ingin mengupas masalah tersebut, saya tidak mau berkomentar mengenai kejadian itu. Karena saya tidak ingin menambah derita keluarga mereka dengan komentar saya. Saya yakin mereka telah begitu terpukul dan semakin sakit membaca berbagai analisis media yang dengan semena-mena membentuk opini pembaca tentang mereka. Lagipula, saya bukan seorang berlatar pendidikan psikologi atau psikiatri yang bisa membahas hal tersebut dari sisi ilmiah...
Saya justru ingin membahas pembicaraan saya dengan teman-teman di Milis ITB 92, yang dimulai dari kasus tersebut, sampai akhirnya... seorang teman bertanya:

Rekan,
Hanya bermaksud instropeksi saja, sebenernya gimana sih perasaan kalian jika jadi ibu rumah tangga ?
Apa betul merasa tersiksa ? apa merasa terhina jika tidak kerja di kantor, Padahal IP tinggi, punya skill yang bisa dijual etc ?
Salam
RK


Saya tergelitik membaca pertanyaan teman saya tersebut. Jelas dia seorang laki-laki, yang tentunya ingin tau, apa yang dirasakan seorang perempuan seperti saya. juga seperti sang pelaku, dan beberapa teman-teman anggota Milis kami. Kami lulusan ITB, kami ibu, dan kami tidak bekerja.
Dan ternyata jawaban beberapa teman perempuan saya di Milis itu, saling melengkapi. Begitu juga jawaban beberapa teman laki-laki yang secara langsung maupun tidak, menurut saya dapat memahami dilema yang dirasakan oleh kami, para ibu yang tidak bekerja, meskipun memiliki latar belakan pendidikan yang cukup... (lulusan ITB, geto loh... khekhekhe...)
dari pada mensarikan, saya kutip aja, ya...

.... "Kalo gue pribadi (dan mungkin sebagian besar cewek2 disini) yg udah kebiasaan mandiri dan biasa banyak aktifitas, mungkin, kalo disuruh untuk berhenti total kayaknya susah, serasa mati akal gitu lho. Jadi menurut gue sebenernya perlu kesepakatan bersama dan jangan sampe ada satu pihak yg ngerasa terpaksa. Dan yg paling susah lagi (berdsarkan pengalaman temen2 gue), bergantung total sama suami itu membuat perempuan ngerasa jadi tersubordinasi, nggak berdaya, kurang merdeka...gitu. Belum lagi mindset masyarakat kita yg kurang memperhitungkan peran ibu rumah tangga, terus juga pertanyaan orang2 sekitar seperti "kok elu sarjana itb nggak kerja sih?"...yg kayak gitu2 itu yg bikin capek hati dan pikiran. "... dst (from yaya)

• ..."Hal yang mendasar kenapa orang kerja sebetulnya kan ingin mendapat pengakuan dari orang lain. Pengakuan itulah yang gak pernah didapat ibu rumahtangga. Malah cap pengangguran yang diberikan masyarakat kepada kami, padahal seperti yang pernah diposting sama siapa ya dulu tentang gaji stay home mom, gak bakalan ada orang yang MAU menggaji kami sebesar itu. Itu salah satunya yang bikin ibu2 gak nyaman ato istilahmu "tersiksa" di rumah terus. Mereka kurang dihargai keberadaannya di masyarakat. Terhina sih enggak, tapi cap pengangguran yang tidak berguna yang rasanya terus nempel di jidat."... dst (from susi)

Pengakuan. Atau istilah lainnya, ekststensi diri.

Kayaknya itu, kuncinya.

Perasaan terhina itu timbul dari tak didapatnya pengakuan akan apa yang sebenarnya kita mampu lakukan. Semua orang punya keinginan untuk dihormati, dihargai. Seringkali, cap sebagai pengangguran yang tak berdaya tersebut membuat kami merasa tidak dihormati, tidak dihargai... tidak berdaya... dan jujur saja, ini teramat sangat tidak nyaman.
Apalagi, pengalaman pribadi saya, mertua dan kakak ipar saya pun memberikan penilaian yang sama.... meski dengan kalimat halus (tapi nyelekit... :P)

" Kamu enak, tidak usah kerja, suami kamu sudah bisa nyukupin semuanya... kamu tinggal ngurus anak saja.... enak sekali... tidak seperti kami... "
(info: mertua (dulunya) dan kakak ipar tersebut, adalah wanita bekerja, seperti juga ibunda saya tercinta yang hingga hari ini di usianya yang menjelang 59 tahun masih aktif bekerja sebagai seorang dosen... mmm... I luv you, mum.... and i miss you... you're the best woman in the world...!!!)

Kedengarannya kalimat yang biasa aja, yaa... tapi bagi saya, itu tajem... nusuk lagi...
Kalau tidak ingat sopan-santun... ingin rasanya saya jawab dengan nada tinggi (ekspresi tersinggung saya saat itu...)

"Enak???...Saya bukan enak, hidup begini... saya justru tersiksaa... saya punya ilmu, saya punya kemampuan, saya punya energi dan itu tidak tersalurkan, karena saya memilih untuk mendampingi anak (adik) anda!!!
Dulu saya juga bekerja... saya juga punya gaji... saya juga dihormati... saya juga sibuk... dan yang pasti, saya juga bisaaa... tapi kesempatan itu tidak lagi saya miliki...!!! Karena demi keluarga saya, suami saya, anak-anak saya... saya tinggalkan semuanya."



Hhhhpppffff... *gaya yoga.... menghembuskan nafas....* :P untuuung.... saya masih diberi Allah kesabaran untuk tidak mengeluarkan kata-kata di atas pada mereka.... hehehe kalau tidak.... Hmmmm.... pastilah terjadi huru-hara yang ujung-ujungnya saya juga yang ketiban rugi.... (nasib ya nasiiib....)

Yah... memang begitulah... mungkin mindset kita yang jujur saja, cenderung MATERIALISTIS, menganggap uang adalah segalanya, maka bisa bekerja dan menghasilkan uang adalah suatu kehebatan, dan yang tidak menghasilkan uang adalah tak berguna... cuma enak-enakan... santai... nggak ada problem... cuma berperan sebagai penghabis uang...

Gilaaa..... justru, gejolak batin, dan energi yang tersia-sia itu, bo... itu lebih menyiksa... Jujur saja, untuk kehidupan saya saat ini, mungkin finansial bukan lagi suatu masalah besar, tapi tetap saja, pengakuan kalau saya juga punya 'sesuatu', kalau saya juga berguna buat orang lain, kalau saya bukan cuma sekedar perempuan yang mendompleng nama suami di kantor dan dipanggil dengan nama anak di sekolah anak.... (sedih, lhoo.... ortu saya kasih nama yang bagus... VIVIANI atau Ivy, tapi di lingkungan kantor suami nama saya jadi Mrs Baehaki, dan di sekolah anak nama saya jadi Shafa's mom atau Qika's mom....).

Jangankan pengakuan.... nama sayapun, sampai hilang.... ;)

Tidak akan jadi masalah, kalau saya bekerja dan tetap punya lingkungan sendiri, di mana nama Viviani Suhar tetap ada, dengan segala kekurangan maupun kelebihan yang melekat padanya, lantas di lingkungan suami saya dipanggil Mrs Baehaki dan di sekolah saya dipanggil Shafa's Mom.... yang penting nama saya tidak tenggelam begitu saja.... Eksistensi, bo.... itu yang hilang dari diri kami....

Tapi.... setelah itu.... masuk lah mail dari teman lama saya...

"Sebenernya, jujuuuurrr, aku tuh pengen banget bisa jadi ibu rumah tangga, louw..Ada yang nanya jadi ibu RT apa tersiksa ato terhina? Mungkin tergantung dari sudut pandang mana kaleee, yaaa...buatku sendiri yang udah ngerasain kerja kantoran dari pagi ke sore..besok dari pagi ke sore lagi (itu kalo lagi beruntung).....kadang-kadang musti ada yang dikerjain ampe late at night atao bahkan sabtu minggu musti direlain untuk ngerjain urusan kantor, ngeliat ibu RT tuh sangat enak dan nyaman......jangan diliat dari capeknya, ya, karena sama aja, tuh...mau jadi ibu RT atao kerja kantoran....tapi diliatnya dari kualitas waktu dengan anak-anak yang kita tinggal di rumah... Kalo balik liat berita tentang bu anik ini, gw aja yang ngantor masih suka stress, ko....kerjaan numpuk, bos bete, dll, terutama kalo mikirin tentang anak-anak di rumah.....jadi stress bukan cuman punya ibu RT.....buat gw sendiri, yang bisa mereduksi stress, gelisah atau perasaan2 negatif untuk posisi kita sebagai ibu, istri dan sekaligus ibu rumah tangga itu, ya, dukungan lingkungan....yang notabene emang harus di-create juga oleh diri kita sendiri...." (from : Wiwid)

Hmmm.... Saya jadi tertegun...

Wah.... ternyata saya belum bijaksana, ya.... saya masih melihat suatu persoalan dari satu sisi saya saja.
Padahal, kalau dilihat dari sudut pandang lain.... kenyataannya bisa berbeda...

Saya jadi ingat.... duluuu.... ketika saya sudah 4 tahun menjadi bu rumah tangga, dengan kesibukan mengurus Shafa kecil yang rasanya tak ada jeda ditambah mabok-mabok karena hamil Qika... Saya bertemu dengan 2 orang teman lama saya... yang satu masih lajang, dan tengah menyelesaikan S3nya, yang satu lagi sudah menikah, meski belum dikaruniai anak, baru dipromosi jadi manager di kantornya, sebuah perusahaan asing bergengsi... percakapan kami kira-kira begini..

Saya : "Aduh Ki (sebut saja, nama teman saya ini Kiki, nama samaran...) seneng banget yaa.... bisa sekolah sampai S3... wah.... kapan yaa.... gue bisa seperti itu..." *dengan mata berbinar kagum, tulus.*

Kiki :"Ivy, jangan ngomong begitu.... kalau aja saya punya suami seperti kamu, saya pasti memilih jadi ibu rumah tangga, capek hati lagi, Vy, umur segini masih melajang.... capek denger komentar orang-orang.... 'kapan merit? terlalu sibuk belajar, sih ya.... awas lhooo.... inget umur...' Aduuuh... kalo yang namanya jodoh itu gampang dapetinnya, atau bisa dibuat pake rumus-rumus yang selama ini gue kerjain.... udah dari dulu-dulu, kali.... gue kawin.... tapi ternyata nggak semudah itu, Vy.... kamu tuh beruntung, lagiii..."


Saya terdiam dan mencoba menerima kata-katanya.... lalu ketika saya bertemu dengan yang satu lagi (sebut saja namanya Sisi, nama samaran juga...)

Saya : "Sisi.... selamat, ya.... jadi manager.... aduh.... seneng sekali.... wah.... gue mah nggak mungkin ya.... bisa seperti elo..." *tetap dengan tatapan kagum, tulus.*

Sisi : "Ivy, saya justru ingin seperti kamu, udah punya Shafa yang pintar dan lucu, sebentar lagi dapat lagi adiknya... sementara saya? sampai saat ini saya belum dipercaya Allah tuh, buat menimang anak... padahal saya ingin sekali... apalah artinya karier, Vy.... kalau sebagai perempuan kita belum bisa melahirkan.... rasanya hidup ini nggak lengkap..."

Saya tertegun lagi.... atau lagi-lagi tertegun...

3 orang teman saya, wanita dengan kesempatan luas beraktivitas di luar rumah... ternyata juga merasa ada yang kurang dalam hidupnya...

Well.... akhirnya.... sore ini saya dapatkan jawabannya....

RUMPUT TETANGGA MEMANG SELALU TERLIHAT LEBIH HIJAU.

Yang nggak kerja, ingin kerja...
Yang kerja ingin nggak kerja...
Punya anak, sibuk ngurusinnya...
Nggak punya anak... pengen.... punya...
Kalau hidup kita selalu mengambil standar dari apa yang orang omongin, bisa gila juga...
Kita sibuk jadi wanita karir... ada saja yang mengomentari...
Tidak berkarir dan memilih or 'terpaksa' tinggal di rumah... eh.... dibilang 'enak ye... jadi pengangguran... (padahal... emang enak???!)'

Ya... memang tidak ada yang sempurna dalam hidup ini...
Sepanjang pengetahuan saya, kita susah untuk meraih semua (baca:seluruh hal) yang kita inginkan. Karena kesempatan dan keberuntungan belum tentu datang dalam waktu yang bersamaan...
Ya.... hikmah dari semuanya... saya mesti bersyukur atas apa yang sudah saya dapatkan..
Nggak ngoyo... geto loh....
Meski tetap dwooong.... berusaha memperbaiki segala yang dirasa kurang or tidak nyaman.... :)